Tebuireng.org
- Peringatan 1.000 hari wafatnya KH
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang jatuh pada Kamis, 27 September 2012
diadakan di dua tempat besar, meski banyak di tempat kecil lain. Pertama, di
Pondok Pesantren Tebuireng, tempat pemakaman beliau bersama kakeknya, KH Hasyim
Asy'ari yang juga pendiri NU. Dan kedua, di Ciganjur Jakarta, rumah tinggal
keluarga sehari-hari. Tempat pertama memiliki kekuatan historis sedangkan yang
kedua mempunyai potensi publis.
Ada
dua celotehan yang sempat penulis dengar terkait peringatan ini. Pertama, apa
Gus Dur tidak kebingungan, mau menghadiri yang mana? Kedua, apa jawaban Gus Dur
ketika disoal oleh kakeknya tentang barongsay yang ikut kirim doa menyertai
tahlilan dan yasinan di Tebuireng?
Ini
mengingatkan penulis saat perziarah ke makam seorang wali di luar Jawa bersama
kawan-kawan Dewan Hakim MTQ Nasional . Teman itu bertanya;"Cak, tadi di
makam, sampeyan mencium sesuatu atau tidak?"
"Ya,
harum. aneh, sebentar-sebentar ada, sebentar tak ada," kata saya
"Sama."
"Kenapa?"
"Itu
berarti beliau khudlur."
Maksudnya,
beliau sedang ada diruang itu, hadir menyambut. Logikanya, bisa saja, orang
menziarahi sebuah makam, sementara wali yang bersangkutan sedang ke luar. Meski
demikian, parsel dan proposal tetap diterima oleh kesekretariatan yang nantinya
disampaikan sewaktu waktu sang boss datang. Semua itu berjaIan sistemis dan
otomatis atas izin Allah.
Dalil
tentang, bahwa para nabi, para syuhada, orang-orang saleh hidup di alam sama
memang ada. (wa huwa hayy, bal ahya' dll).
Namun
pemahaman makna "hidup" itulah yang berbeda. Pertama, hidup aktif.
Yakni bisa beraksi dan bereaksi, seperti merespon salam, merekomendasi doa
peziarah kepada Tuhan dll. Kedua, hidup pasif. Kayak orang hidup yang bisa
menikmati fasilitas, sebagai ekstra servis atas kesalehannya. Tapi tidak bisa
berbuat apa-apa. Atau, Anda berpendapat lain?
Kearifan
Ketiga
Gus
Dur memang bukan manusia standar. Ada kelebihan di atas manusia kebanyakan.
Daya rahmatnya yang konsis, sungguh memberi manfaat bagi orang hidup, meski dia
sendiri sudah lama tiada. Maka wajar, mereka berduyun-duyun mendoakan. Sebagai
muslim, siapa sih yang tidak ingin hidup bahagia dan matipun bahagia, bahkan
lebih bahagia. Untuk mencapai itu, diperlukan kearifan kedua dalam berpandangan
hidup. Contoh paling gampang dipapar berikut ini.
"Tentang
doa, tahlilan, yasinan yang dikirim teruntuk mayit, bisa nyampai atau
tidak?" Soal dasar hukum dan dalil, baik naqli maupun aqli sama-sama ada,
baik bagi yang mendukung nyampai atau yang menolak. Tak bisa kita truth claim
dengan menyalahkan yang lain dan membenarkan diri sendiri. Maka, di sinilah
dibutuhkan second knowledge atau kearifan kedua. Yaitu kearifan memilih
pendapat yang menguntungkan dan sah, bukan pendapat yang merugikan meski
juga sah.
Bagi
mereka yang memilih pahala Yasinan bermanfaat bagi mayit, penulis ucapkan
selamat dan beruntung. Anda pintar dan arif. Selain Anda memiliki aset
pribadi, Anda juga mendapat hadiah, bonus dan parsel dari kawan-kawan. Moga
bisa membantu kebutuhan Anda di alam sana. Tuhan bersikap sesuai keyakinan
hamba-Nya (Ana 'ind dhann 'abdi bi).
Sementara
bagi kawan-kawan yang berpendapat tidak bisa nyampai, sia-sia dan tak berguna,
penulis hormat. Anda orang hebat yang merasa amalnya cukup dan tak butuh
subsidi. Moga demikian.
Tapi
tak salah bila dikoreksi: "Benarkah amal Anda cukup?"
Jika
di sono nanti Anda mengalami defisit, maaf, Anda tidak bisa menerima subsidi.
Sebab jalur sudah Anda putus sejak dulu dan Tuhan bertindak sesuai keyakinan
Anda.
Dalam
silabi teks Qurani, hadiah-hadiahan tersebut hanya berlaku bagi mereka yang
seiman. Beda agama antara pengirim dan yang dikirim tak bisa. Itulah yang
dipegangi para ulama termasuk Kiai Hasyim Asy'ari.
Namun
Gus Dur ingin lebih dari itu, ingin melampaui yang standar dan biasa. Sehingga
memilih menggunakan kearifan ketiga. Dimana, non-seiman juga bisa bermanfaat.
Tidak merasa cukup hanya dengan kearifan kedua yang dinilai kurang optimal.
Makanya,
barongsay dibolehkan ikut kirim doa menyertai tahlilan dan yasinan di seputar
makam Gus Dur, dengan harapan sama-sama bisa nyampai dan bermanfaat. Lumayan.
Dari
sisi ini, nampak sesungguhnya Gus Dur itu pribadi sangat santun di hadapan
Tuhan, merasa amat fakir dan benar-benar membutuhkan kucuran rahmat-Nya yang
tak terhingga. Dan hasrat itu beliau tempuh dengan caranya sendiri, cara yang
tidak lazim dilakukan para ulama pada umumnya.
Kira-kira
inilah yang dijawabkan oleh Gus Dur atas gugatan kakeknya yang hanya menggunakan
kearifan kedua. Dialog emajiner ini hanyalah sebuah ilustrasi rasional, di mana
segala keputusan tetap mutlak di tangan Tuhan.
Gus
Dur Berpesan
Berikut
ini sekedar dialog imajiner penulis dengan Gus Dur terkait peringatan 1.000
hari wafat beliau.
Penulis: "Apa pesan Gus buat para
pengada peringatan 1000 hari ini?"
Gus Dur: "Soal kirim doa sudah lancar.
Itulah sisi ihtida' dari manfaat ziarah kubur. Para peziarah, peserta
peringatan bisa mengambil pelajaran religi. Setidaknya ingat mati, lalu meningkatkan
amal kebajikan. Cuma, sisi iqtida'-nya tak muncul."
Penulis: "Apa itu Gus?"
Gus Dur: Mereka hanya semangat kirim doa,
tapi kurang semangat meneladani (iqtida') amal baik yang pernah saya
lakukan. Utamanya di bidang pemikiran, kerja sosial, tebar kedamaian, bukan
tebar pesona dan lain-lain. Dari gelagat peziarah, rasanya makam saya ini
banyak dikunjungi pejabat. Mungkin dianggap wali pejabat. Ya, tak ubahnya
wali-wali lain dengan spisifikasi sendiri-sendiri.
Yang
lebih buruk dari itu ada. Mereka tidak mengambil hikmah religius dari
peringatan ini, tidak pula mengambil keteladanan dari perbuatan saya, tapi
malah mengambil keuntungan materi dari penyelenggaraan peringatan ini. Saya
berharap Tuhan mengampuni kami dan kawan-kawan."
Penulis: "Itu pesan untuk umat, barang
kali ada pesan untuk santri atau keluarga?"
Gus Dur: "Ya, untuk santri, harus lebih
hebat dari saya. Jika sungguhan, pasti bisa. Mata saya ini sampek beleken,
karena terlalu banyak membaca. Sedangkan untuk keluarga, agar semua bisa
menjaga nama baik saya. Tampilan anak-anak di media dan di masyarakat tidak
mengundang rasan-rasan negatif. Kebebasan ya kebebasan, tapi akhlak dan
kepantasan tetap wajib dipatuhi. Anak-anak jangan sekadar merujuk saya saja,
rujuk pula Mbah Buyut, Kiai Hasyim Asy'ari, kiainya para kiai negeri ini.
Terima kasih."
Dan
untuk guruku tercinta, penulis ucapkan: "Allahummighfirlah."
(*)
Tulisan ini dimuat di Harian Radar Mojokerto,
Kamis 27 September 2012